Desember 21, 2024

Aliansi Jurnalis Video : Jurnalis Harus Bersikap Merdeka Dalam Pilpres

0

JAKARTA, KM – Aliansi Jurnalis Video  (AJV) melantik  Chandra Nazirun (Ketua Umum), Dr. Rully Nasrullah (Sekjen), Puput Nurmawarni (Bendahara Umum) sebagai  Pengurus Pusat AJV periode 2023-2026 di Hotel Amaris, Pancoran Jakarta Selatan (11/11) yang dilantik oleh Dewan Pengawas Erland Hidayat.

Gilang Iskandar selaku Dewan Pembina AJV  dalam sambutannya, berharap pengurus baru AJV  dapat melakukan hal yang terbaik  untuk organisasi  juga  dapat mencerahkan bangsa dan negara. Ini tidak mudah, tetapi dengan kekompakan, kita yakin bisa melangkah ke arah lebih baik!” ungkap Gilang.

Sebelum acara pelantikan yang ditayangkan pula via Instagram dan YouTube tersebut dilaksanakan pula diskusi publik  bertajuk “Menguak Pengaruh Jurnalis Merdeka Dalam Pilpres  2024  dengan narasumber Prof. Dr. Ibnu Hamad (Guru Besar Komunikasi UI), BivitriSusanti SH. L.LM (Ahli Hukum Tata Negara PSHK), H.N Jusuf Rizal (Ketua Umum PWMOI), Nugroho Fery Yudho (Jurnalis Senior) dengan host Maula Isnarto ((Jurnalis Senior RRI).

Jurnalis Tidak Merdeka

Secara normatif, dari dulu sampai hari ini wartawan tidak boleh berpihak ke manapun.  Namun, sekarang ini wartawan lebih takut kepada pemilik media ketimbang  kepada ayah dan Ibunya, bahkan kepada Tuhannya!” begitu pendapat Prof Dr. Ibnu Hamad, Guru Besar Komunikasi UI saat diminta pendapatnya  tentang  peran wartawan di tengah situasi Pilpres 2024.

Ini bukan fenomena  baru di Indonesia, tapi juga  terjadi di seluruh dunia. Karena sekarang ini luar negeri juga begitu. Prof Dr Ibnu melihat, jika kemerdekaan  tidak ada pada pemiliki media, maka harus ada pada konsumen atau pemakai media.

Sebagai pembaca atau penonton, kita yang harus merdeka. Makanya, silahkan konsumsi semua berita yang ada. Mau lewat berita podcast, mau sosial media, mau dari berita online. Dan jadilah pembaca yang merdeka!”

Prof.  Dr.  Ibnu  juga melihat fakta di lapangan yang menunjukan,   bahwa di dunia industri media di Indonesia banyak  pemilik media yang terlibat politik. “Bahkan banyak teman-teman  wartawan yang menjadi tim sukses. Ini kan jauh dari peran jurnalis  yang merdeka!”

Dengan kondisi ini, Prof Ibnu melihat  keadilan jurnalisme  semakin tidak berlaku di media di Indonesia,  bahkan soal keadilan ini tidak diatur dalam kode etik manapun di lndonesia.

Bayangkan, pada satu media  tertentu bisa memuat headline dari tokoh yang itu-itu saja  selama berhari-hari, dan  pilihan narasumber  juga nama yang sama.  Yang muncul  lue lagi… lue Lagi. Sebaiknya, kalau bicara soal keadilan dan kemerdekaan, maka untuk Pilpres mendatang misalnya,  sebaiknya dibuat jurnal pemilu. Di mana setiap kontestan bisa dimuat secara merata untuk pemuatan cetak dan online, maupun dalam durasi pemberitaan  video,” ujarnya

Jurnalisme Warga Dikutip Mainstream

Sementara itu Nugroho Fery Yudho (Jurnalis Senior Kompas)  mengakui banyak yang berubah  dari  industry media  belakangan ini. Zaman tahun 1980-an,  pemimpin  dan pemilik media rata-rata berprofesi sebagai jurnalis. Sebut saja  BM Diah, Yacob Utama dan Harmoko, misalnya.

Sekarang ini, setiap orang bisa jadi pemimpin redaksi.  Dan bikin kartu nama sebagai wartawan. Sehingga, kesadaran dan kemandirian pers tidak sebesar dulu,” kata Nugroho.

Perkembangan sosial media yang dengan sangat cepat, menurut Nugroho juga  melahirkan setiap orang menjadi wartawan.  Dan kemudian muncul pula istilah jurnalisme warga. “Di mana setiap orang bisa merekam  sebuah peristiwa dan menyebarkannya,” kata Nugroho.

Namun, sayangnya dengan keterbatasan pengetahuan,  mereka membuat berita tanpa dasar yang jelas seperti layaknya wartawan menulis berita,  dengan patokan rumusan wartawan menulis  berita yang   harus memuat 5 W .

Di sinilah muncullah  istilah berita hoax, dan kebanyakan dibuat oleh pelajar  dan mahasiswa. Awalnya, mereka tidak menyadari  apa yang dibuat  itu sebagai berita hoax.  Mereka membuat  berita tidak lengkap asal usulnya!”

Nugroho  menyebut bersama AJV,  ia kemudian  masuk ke berbagai sekolah dan kampus, untuk memperkenalkan pola penulisan berita yang benar.

Dalam jangka panjang,  Nugroho melihat jusrnalistik mainstream, harus bisa belajar dari  pola jurnalisme warga.  “Jujur saja, sekarang kondisinya terbalik. Banyak media mainstream belakangan ini  yang mengambil  (bahan) dari jurnalisme warga yang tersebar di  sosial media. Ini harusnya membuat kita sadar, dan tidak berlebihan. Jangan juga membuat persyarat macam-macam. Seperti ujian kompetensi  watawan yang tidak jelas!” katanya di tengah sekitar lebih dari 100 peserta diskusi, di antaranya  21 Mahasiswa BSI jurusan Broadscast.

Jujur dan Adil

Sementara itu Yusuf Rizal, Wartawan Senior, Ketua Umum PWMOI sekarang ini tidak ada kemerdekaan bagi wartawan  dan sikap wartawan  sekarang ini lebih nanyak memperhtungkan bagaiamana mendapat cuan. “Di atas semua itu, kepentingan politik para pemilik media, menjadi dominan. Dan ini mengurangi kemerdekaan dalam melihat  dan menyajikan informasi secara jujur dan adil  (Jurdil).

Dalam konteks pilpres , di lapangan  wartawan dan pemilik media  faktanya  sudah terkotak-kotak. “Harapan  kita wartawan  bisa kembali ke khitohnya, yang punya idealis  tapi realistis!”

Sedangkan Bivitri  Susanti SH  menyebut peran media harus ditempatkan kembali secara jujur dan adil dalam mengawasi pilpres mendatang. “Misalnya, kita tahu sekarang ini, meski ada KPU,  Bawaslu, Panwaslu,  banyak poster  dan baliho dari pasangan calon Presiden dan wakil Presiden yang sudah bertebaran, meski belum masuk masa kampanye.  Dan media mestinya harus bisa menyikapi kondisi ini!”

Sementara itu,  dalam kaitan dengan profesi  wartawan di AJV, Bivitri mengusulkan harus ada self regulation yang mengatur para anggota, “agar wartawan AJV bisa bekerja lebih professional dan mandiri, sehingga  free and fair election dalam Pilpres bisa diterapkan,“ ujar Bivitri. (Red)

About Author

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *